RANDY SAYANG
Randy meronta. Sekuat tenaga ia
berusaha melepaskan tali yang telah menjerat lehernya. Udara pun tersekat masuk
ke paru-paru. Suaranya tersangkut di tenggorokan. Hanya terdengar suara cericit
seperti tikus terinjak. Sementara Sarah hanya berdiri menatap dingin tanpa
menolong. Ia menikmati dengan senyum sinis menanti detik-detik kematian Randy.
Hingga kemudian anjing itu diam. Tak lagi meronta. Tak bersuara. Tergantung
bisu dengan mata mendelik dan lidah menjulur. Liur berbusa menetes dari sudut
mulut Randy.
Telah mati seekor anjing peking manis berwarna
cokelatkemerahan di tali gantungan! Di taman, di rumput hijau yang segar, Sarah
lalu duduk dengan santai menatap Randy. Pohon mangga rindang, tempat tali
digantungkan ikut menatap dalam diam. Tak ada angin mendesir, tak ada suara
mengusik. Sore sunyi di taman rumah.
“Aku tak menyesal membunuhmu, Randy,”ungkap Sarah dingin.
Seekor kupu-kupu hitam bertabur bintik-bintik putih hinggap di mawar. Tak jauh dari Sarah duduk. Sarah memandangnya lalu diajak bicara.
“Aku tak menyesal membunuhmu, Randy,”ungkap Sarah dingin.
Seekor kupu-kupu hitam bertabur bintik-bintik putih hinggap di mawar. Tak jauh dari Sarah duduk. Sarah memandangnya lalu diajak bicara.
“Kupu-kupu, kamu ingin bertanya sesuatu pada Sarah?”
“Kamu anak jahat. Kenapa kamu bunuh anjing manis tak berdosa itu?” kupu-kupu terus mengisap sari mawar. “Randy memang manis dan tak berdosa. Tapi dia pembawa dosa. Makanya Sarah jadi benci. Lalu membunuhnya.”
“Kamu anak jahat. Kenapa kamu bunuh anjing manis tak berdosa itu?” kupu-kupu terus mengisap sari mawar. “Randy memang manis dan tak berdosa. Tapi dia pembawa dosa. Makanya Sarah jadi benci. Lalu membunuhnya.”
“Binatang tidak berlaku dosa, bagaimana bisa membawa dosa?
Dan kamu juga tak pantas membenci binatang, karena ia tidak mengenal benci.”
Seperti jawaban Bu Uud, gurunya di sekolah. Ketika dengan Bu Uud, Sarah tidak
lagi menjawab, walaupun ia punya kata-kata untuk menjawab. Takut dibilang anak
nakal. Tapi pada kupu-kupu, ia ungkapkan segala keluh, segala benci, segala
rasa tak mengenakkan yang selama ini bersemayam di hatinya. Peduli apa pada
kupu-kupu. Bukankah kupu-kupu juga tak mengenal nakal?
“Sarah tak perduli Randy punya benci atau tidak. Tapi Sarah
benci pada Randy! Randy diperlakukan sangat berlebihan oleh Tante Irena.
Makanannya daging, tiga kali sehari. Tidurnya di keranjang beralaskan spon
empuk, berseprai kain beludru. Seminggu sekali dimandikan. Bulu-bulunya selalu
disemprot dengan obat agar tidak mudah rontok dan bersih mengkilat. Kadang ia
tidur di kamar bersama Tante Irena, makan bersama kami, bermain di dalam rumah
yang kadang mengacak isi rumah, tapi dibiarkan oleh Tante Irena. Randy telah
menjadi seekor anjing yang begitu istimewa dan lebih berharga daripada
manusia.”
“Aku mengerti sekarang. Kamu iri pada Randy. Kamu berharap
kamulah yang diperlakukan demikian, bukan Randy. Sarah, tak boleh kamu iri.
Mengapa kamu tidak bersyukur atas apa yang telah kamu dapatkan sekarang?
Bukankah hidupmu sekarang lebih enak daripada tinggal dip anti? Kamu sekarang
tidur di spring bed, makanan bergizi, bisa sekolah, dan segala kebutuhan
sehari-hari telah terpenuhi. Jangan serakah, Sarah!”
“Sarah tidak serakah. Sarah bersyukur
kok. Sarah hanya iri. Itulah dosa pertama yang dibawa Randy, bikin iri Sarah.
Kedua, Randy membawa dosa buat Tante Irena yang mengeluarkan uang berlebihan.
Seharusnya biaya untuk anjing itu bisa membiayai seorang anak asuh lagi. Sudah
pernah Sarah bilang sama Tante Irena untuk mengasuh Ira, teman baik Sarah
dipanti asuhan, sehingga Sarah punya teman di rumah ini. Tapi Tante Irena tidak
mau. Katanya mengasuh Sarah mengeluarkan biaya banyak. Tambahnya lagi, Sarah
sudah punya teman yakni Randy. Dosa ketiga pun telah dibawa Randy. Karena Radny,
harapan Ira jadi pupus. Sungguh, Sarah benci sama Randy, dan ikut sedih melihat
kekecewaan Ira. Maka sangat beralasan kalau Sarah membunuh anjing yang sama
sekali tak berguna itu.”
“Sarah, Randy hanya seekor anjing yang tak tahu-menahu
tentang dosa. Yang dia tahu Tante Irena, kamu menerimanyadan merawatnya dengan
baiksehingga ia senang dan jinak pada kalian. Ia tak pernah berharap hidup
bersama Tante Irena, tapi Tante Irena sendiri yang mengambil kehidupannya demi
hobi dan kesenangan. Nah, Randy ada untuk membuat Tante Irena senang.kamu tidak
boleh mengatakan Randy tidak berguna. Ia telah membuat majikannya bahagia.”
“Sarah jadi ingin tertawa ketika dibilang manusia bahagia
dengan anjing. Mengapa manusia lebih berbahagia melihat tingkah laku anjing
daripada bahagia melihat kebahagian seorang anak manusia? Sarah pernah dengar,
kebahagiaan itu diperoleh ketika engkau bisa membahagiakan orang lain. Tapi
sekarang Sarah lihat sendiri, Tante Irena memperoleh kebahagiaan dengan
membahagiakan anjing!”
Kupu-kupu terdiam, Sarah pun diam. Sunyi kembali menggayut.
Teringat kata Bu Uud, Sarah anak pintar, tapi juga nakal. Sering bertanya aneh
dan membantah. Padahal usia baru 11 tahun.”Tapi kehadiranmu sekarang telah
membunuh kebahagiaan Tante Irena yang selama ini begitu baik padamu, yang tidak
pernah memarahimu. Kamu pasti mendapatkan balasannya.”
Angin berdatangan ke taman. Menerpa ajah Sarah, meluruhkan
dedaunan tua, dan menggoyangkan mawar tempat kupu-kupu hinggap. Sesaat kemudian
kupu- kupu pun terbang bersama angin. Buru-buru Sarah berkata,”Memang Tante
Irena baik pada Sarah dan pada anjingnya. Tidak pernah dimarahi, dan selalu
disayangi. Tapi ia tidak sayang pada Ira. Ia pun tidak patuh pada agamanya,
Islam. Sarah sudah pernah bilang anjing itu bukan binatang peliharaan, tapi
binatang penjaga atau pemburu. Sebab jika anjing berada di dalam rumah, maka
malaikat pembawa rezeki tidak menaburkan rezekinya. Dan anjing juga binatang
yang lidahnya penuh dengan kuman-kuman yang bernajis. Tapi Tante Irena tak
percaya dan membantah. Katanya, rezekinya tetap mengalir terus, bahkan ia bisa
dapat rumah besar ini sekarang. Ia juga tak percaya dengan kuman-kuman di lidah
anjing, sebab ia merasa tidak ada masalah apa-apa ketika dijilati anjing. Orang
Barat saja bahkan mencium anjing, dikencingin anjing aja mau!”
Taman senyap. Kupu-kupu telah pergi membawa angin dan
kata-kata Sarah. Lalu di gerbang taman, sebuah sedan hitam yang melaju pelan
memasuki jalan beraspal di tengah taman dan berhenti tepat di depan rumah.
Tante Irena keluar dari mobil dan juga Om Raby, bosnya Tante Irena. Saat
pertama kali bertemu, sangka Sarah, Om Raby adalah suami Tante Irena. Di
kemudian hari, Sarah heran melihat Om Raby sering pergi bersama Tante Irena dan
menginap di rumah. Tapi lama-kelamaan Sarah tak peduli, malah senang. Sebab
kalau Om Raby mau menginap, Bi Isah pasti masak enak.
Sarah berlari menghampiri Tante Irena.
“Tante, Randy mati!”
“Apa?” Tante Irena terperanjat. “Kenapa bisa mati?”
“Tante, Randy mati!”
“Apa?” Tante Irena terperanjat. “Kenapa bisa mati?”
“Tali telah
menjerat lehernya, Tante. Ia tergantung di bawah pohon mangga sekarang,” sahut
Sarah sambil menunjuk pohon mangga. “Kok bisa tergantung?”
Sesaat Tante Irena menatap cemas Om Raby, lalu berlari kea rah pohon mangga. Sarah dan Om Raby mengikuti. Di pohon mangga, Tante Irena menjerit.
Sesaat Tante Irena menatap cemas Om Raby, lalu berlari kea rah pohon mangga. Sarah dan Om Raby mengikuti. Di pohon mangga, Tante Irena menjerit.
“Randyyyyyyy…!” segera dilepaskan gantungan tali yang melilit
leher Randy. “Kenapa bisa begini? Oh Randy…” lalu ia menangis. “Kenapa ia bisa
tergantung, Sarah?” Om Raby bertanya sambil menenangkan Tante Irena.
“Tadi saat kami sedang bermain, Randy, Sarah suruh untuk
melompati tali melingkar yang Sarah buat. Sarah sebenarnya ingin melihat Randy
bisa melewati lingkaran api. Tapi…”
“Cukup!” Tante Irena berteriak tiba-tiba memotong kata-kata Sarah. “Dasar anak brengsek, pembohong! Kamu yang telah membunuh, Randy. Kamu sengaja menggantungnya, kamu sengaja membiarkan ia mati tergantung!”
“Cukup!” Tante Irena berteriak tiba-tiba memotong kata-kata Sarah. “Dasar anak brengsek, pembohong! Kamu yang telah membunuh, Randy. Kamu sengaja menggantungnya, kamu sengaja membiarkan ia mati tergantung!”
“Irena, tenang…”
“Kau diam saja! Sarah, kamu benar-benar tak tahu berterima kasih, padahal Tante telah berbaik hati mengangkatmu jadi adik Tante. Besok kamu akan Tante kembalikan ke panti. Tante tak mau lagi menampung kamu!”
“Tapi Tante…”
“Cukup! Tante tak mau lagi mendengar alas anmu. Malam ini siapkan segera barang-barangmu. Besok pagi Tante kembalikan kamu ke panti.”
“Irena…”
“Sudah ku bilang diam! Jangan ikut campur!”
“Kau diam saja! Sarah, kamu benar-benar tak tahu berterima kasih, padahal Tante telah berbaik hati mengangkatmu jadi adik Tante. Besok kamu akan Tante kembalikan ke panti. Tante tak mau lagi menampung kamu!”
“Tapi Tante…”
“Cukup! Tante tak mau lagi mendengar alas anmu. Malam ini siapkan segera barang-barangmu. Besok pagi Tante kembalikan kamu ke panti.”
“Irena…”
“Sudah ku bilang diam! Jangan ikut campur!”
Semua diam sambil dengar Tante Irena menangisi Randy. Tak ada
seorang pun bisa menenangkannya. Sekalipun dari bosnya yang seharusnya disegani
malah berani dibentak. Lalu ke esokan harinya Tante Irena mengantarkan Sarah ke
panti asuhannya
PERAWAN DIRENGGUT MALAM
UMMI, di sini aku, sendiri dalam hutan diselimuti malam
hutan Diselimuti malam, ditangisi hujan. Tidak sedikit pun Kutakut pada ular, babi hutan, atau binatang malam Lain yang akan
membinasakanku. Aku hanya takutPada pemerkosa itu yang masih mencariku . UMMI,Tolong
bantu aku mengenyahkan mereka.
UMMI, aku mengaku
salah padamu. Engkau melarang aku keluar malam, karena tentara-tentara penjaga malam akan mengangguku. Akutidak mendengar , sebab
aku yakin mereka tidak mengangguku. Aku telah berkerudung rapat, danAllah telah
menjanjikan perlindungan bagi wanita Yang tertutup. Aku juga punya pendapat yang kuyakini benar. Memang para tentara
mudah menganiaya laki-laki hingga membunuh seenak perutnya. Tapi mereka tidak
terlalu pada perempuan. Tuduhan apa yang bisa dilontarkan buat perempuan yang
berkerudung yang keluar malam-malam, Apakah dikira
pemberontak GAM? Tidak, mereka tidak
mungkin berpikir begitu. Meraka hanya berpikir berani pula perempuan keluar
malam-malam sendiri. UMMI, mereka tidak menganiaya perempuan, mereka tidak menangkap
perempaun, mereka tidak membawa pergi
perempuan bagaimana mereka sering membawa lelaki kampung ini entah kemana dan
kembali dengan tubuh tak bernyawa.
UUMI, aku hanya keluar malam untuk menemui temanku yang berduka. Seperti
bang Ali bilang, setelah shalat magrib di meunasah, ia kerumah syarifa untuk
tahlilan sebagaimana penduduk ketika ada orang meninggal. Akan tetapi, tak ada
seorang penduduk pun yang dating kerumah duka itu. Makanan berupa kue-kue dan
kopi Aceh telah disediakan diserambi
rumah tersia-sia tak ada yang minum . bang Ali dan beberapa temannya hanya memberi
sedekah uang seadanya dan kemudian pulang. UMMI pasti tau bila pulang terlalu
malam, ia bisa bertemu tentara penjaga malam dan bisa diinterogasi dengan
kata-kata kasar, hantaman popor senjanta, atau tendangan dan pukulan. Seperti yang sering pulang malam.
UUMI, sebagai perempuan, sebagai anak yang
sama-sama sudah kehilangan ayah karena dianiaya oleh para tentara itu, bisa
kurasa kesedihannya. Sudah mati dengan tragis, tak ada pula yang bertahlil ker umahnya.
Keramaian orang berdua tentu membuat hatinya tenteram, membantunya melambangkan
dada menerima musibah itu, bahwa kematian seorang manusia adalah takdir Allah. Kematian
adalah wajar meskipun caranya kurang ajar. UMMI, aku kesana untuk menghiburnya
dari duka. Aku tidak kuasa merasakan luka batin syarifah. Aku sudah pernah
merasakan kehilangan Abi yang dibunuh mereka, dan malamnya tidak ada yang
melakukan tahlilan buat arwah Abi. Aku merasakan betapa sunyi dan hampa hati
ini. Duka semakin subur dalam kesepian rumah yang tidak di ramaikan oleh
tahlilan. Aku butuh mendengar doa-doa peneteram hati, agar duka tidak menyepi
di hati. Tidakkah Uumi merasakan suasana duka itu? Kita berdua melewati
malam-malam setelah Abi meninggal. Sedang bang Ali masih di batam. Pulang dua
bulan kemudian setelah Uumi menyuruh pulangak. Sebab tak ada lelaki di rumah.
Tinggal kita perempuan-perempuan lemah.
Ummi, tidak apa-apa
aku keluar malam, aku akan mengambil jalan pintas tidak melewati posko penjaga.
Aku akan berhati-hati, Ummi. Tapi engkau tetap melarang dan marah. Bang Ali pun
marah. Aku tidak mendengr katamu. Maaf, Ummi, aku beranggapan perasaan kalian
hanya sementara, perasaan duka syarifah yang hanya berdua dengan emaknya.
Aku pun pergi. Aku tidak merasa bersalah,
dan jika salah aku masih sempat meminta maaf padamu,Ummi. Mungkin begitu watak
perempuan Aceh, keras untuk mewujudkan suatu keinginan yang dianggap benar
meski nyawa taruhan. Seperti cut Nyak Dien, yang begitu keras memimpin melawan
perang Belanda meski mulanya ditentang para lelaki dalam kerajaan karena cut
Nyak seorang perempuan. Serahkan urusan perang pada laki-laki saja. Akan tetapi
cut Nyak punya sikap, ia tidak bisa diam dengan membiarkan bumi Aceh
diinjak-injak kafee Belanda, yang juga telah menewaskan suaminya, Teuku Umar.
Ummi,dengan langka kecilku, malam pun kubelah
dengan penerang bulan seperti mata yang terpejam. Zikir tiada putus dihati
terucap seiring denyut nadiku. Ummi, malam begitu sepih, senyap, lengang.penduduk
benar-benar takut pada malam. Tak ada yang keluar malam, bahkan tak terliht
cahaya panyot dari dalam rumah sebagai petanda mereka masih terjaga, padahal
malam baru menjelang isya. Ummi, malam bisu tanpa suara. Bukan penduduk kampung
saja yang tidak menyukai malam, jangkrik, kodok, dan binatang malam lain yang
sering bernyanyi juga membisu. Ummi, aku
hanya melihat pohon-pohon dan ilalang yang meninggi memetung bagai dalam potret
suram. Tak terusik sedikit pun oleh angin. Sabit pun telah terpejam total. Mendung
menelannya. Membuatku kehilangan arah, sehingga aku tersunggkur di parit kecil
di pinggir jalan setapak. Aku mengaduh lirih. Tapi aduhanku tak kusangka mampu
membangunkan tentara-tentara itu,
Ummi,mendadak entah dari mana tembakan
mengarah padaku. Tret…, Tret…dor…dor…dor!!! Walaupun peluruh itu kurasa melesat
menembus malam sangat dekat di atas dan disamping diriku, tiada membuatku
gentar. Aku tidak takut mati, Ummi. Hanya aku merasa gendang telinga serasa mau
pecah, sebab muntahan peluru membahana di kegelapan malam. Ummi, aku
beristigfar dalam diam hingga suara garang senjata itu diam.
Lalu, Ummi, laksana pedang-pedang cahaya
tanpa ujung, sorot-sorot senter milik para tentara menusuk kelam malam. Aku tidak
menyangka posko militer itu dekat sekali dari berada, tentu mereka bisa mudah mendengar
rintihanku tadi. Setahuku posko mereka di rumah cek ramlah, janda yang di
tinggal mati suaminya dan anak-anaknya. Mereka ternyata kini berposko di rumah
kosong milik Bang Leman yang telah pergi melarikan diri dari kejaran militer,
sebab ia anggota GAM.
“Mohon
jangan tembak, aku perempuan!” teriakku. Ummi, aku tidak sedikit pun merasa
takut sorot-sorot senter menelanjangi tubuh dan wajahku hingga menyilaukan
mataku. Serta kulihat dari lima senter itu tergantung senjata laras panjang di
tangan kanan mereka, yang pernah kudengar disebut AK-47. Aku tidak begitu tau
soal senjata. Anak lelaki lebih tahu tentang senjata. Mereke ada rasa tertarik.
Aku sendiri merasa heran, bagaimana benda pembawa maut itu bisa menarik hati
para lelaki.
“Berdiri, dan angkat tangan!” bentak salah seorang
dari mereka sambil mendekat padaku. Aku merasa nyeri dan perih dimulut. Pergelangan
kaki kiriku tergilir, sehingga aku ngak sulit berdiri.
“Dengan siapa kau?” kembali mereka membentak
sambil moncong senjata menuding kearahku.
“sya sendiri. Tidak dengan siapa-siapa,”
sahutku lirih.
“siapa kau? Ngapain keluar
malam-malam sendirian?”
“saya Aini, anak salamah, istri
almarhum Pak Ibrahim. Saya mau kerumah syarifah, anak almarhum Pak Nurdin yang
meninggal tadi pagi.”
Maka Ummi,
dengan alas an pemeriksaan aku dibawah kerumah papan Bang Leman melalui jalan
setapak. Kiri kanan ilalang tumbuh panjang tak ditebas. Di halaman rumah,
dengan sorot cahaya senter, rumput tekir terbaur dengan bunga putri malu tumbuh
subur tak terawat. Begitu pun rumah Bang Leman, di mana papan rumahnya sudah
lapuk dimakan waktu dan rayap. Atap rumbia ada yang hendak jatuh ketanah.
Ummi, aku tak berprasangka apa-apa ketika
bisik-bisik mereka dalam bahasa daerahnya yang tak kumengerti dan cekikikan
tawa ketika mereka sedang merencanakan sesuatu. Aku tak tahu hingga pemimpin
mereka berkata akan memeriksaku terlebih dahulu di kamar. Aku merasa tak baik. Aku
menolak, diperiksa diruang itu saja.
“kau mau tubuhmu dilihat mereka saat
kupriksa di balik baju karungmu itu?”
Dia menghina
pakaian muslimahku, Ummi. Tapi tidak kupersoalkan, benar katanya. Hanya
kejadian selanjutnya kutakutkan. Meski demikian, aku mencoba berpikir positif. Tentara
itu mungkin maksud baik. Bagaimana tentara lain juga banyak yang baik, meski
sebagian penduduk tidak bisa mengenyahkan cerita buruk pada mereka.
Sayang Ummi, tidak seperti kubayangkan. Kejadian
begitu cepat dan sangat menyakitkan untuk kuulangkan kembali padamu, Ummu, aku
begitu takut Ummi, tak pernah kutakut sedemikian hebat selama hidup. Lebih menakutkan
dari pada kematian seperti kebanyakan manusia takutkan. Aku menolak membuka
baju. Tapi ia memaksa, menamparku. Dientakan jilbabku hingga lepas. Aku berteriak,
dibalas dengan tamparan dan makian untuk diam. Aku tak kuasa melawan, Ummi. Ia cengkeram
diriku yang lemah dengan kekuatan nafsunya. Selanjutnya, sangat sakit Ummi. Rumah
kumuh itu menjadi saksi bagaimana kepayahanku. Malam merekam tangis dan
teriakanku, aku memanggil Allah untuk membantuku, aku memanggil Ummi untuk mengusir
mereka. Namun tak ada yang membantuku hingga terjadilah mimpi buruk itu.
Lalu ia keluar dengan lenguhan kepuasan
seorang iblis. Kudengar diruang depan ia ijinkan temannya untuk memeriksaku. Ketakutanku
memuncak, Ummi. Kukumpulkan dengan segenap kekuatan yang tersisa, dengan
tertatih perih, sunggu kepayahan yang sangat memeriksa, aku keluar dari kamar
sebelum temannya mendahului. Sebab kamar dibelakang, membuat mereka tak tahu
aku keluar kamar. Begitu dasyat tubuhku gemetar Ummi, hingga palang melintang
pintu yang sedang kuturunkan jatuh berdetum ke lantai papan. Aku tak mengerti,
ketakutan seperti menyumbang energi hingga aku kuat berlari. Membelah semak,
membeleh ilalang yang membenamkan tubuhku. Angin malam mendadak rebut,
meriuhkan kedaunan, menggelombangkan ilalang.
Masih sempat kudengar makian tentara dari
dalam rumah. “Busyet, gadis itu ngak ada. Pada hal aku belum periksa dia. Bangsat!
Ia lari kebelakang!”selanjudnya, peluru memekik meneros malam, dan salah satu
menyusup kebahu kananku. Ummi, aku kena! Aku terjerembab. Ilalang seolah-olah
menjadi barisan makhluk gaib bersorak menyemangatikan untuk segera bangkit dan
lari.
Aku bangkit , meski sakit menyakit. Lelah
bercampur perih bendera seluruh tubuh:
diiris elalang dihujam peluruh, darah yang terus keluar meski udah kucoba
kutahan dengan telapak kiriku, dan tangan kanan tak bisa lagi kugerakkan untuk
menyimak ilalang. Maka kubelah ilalang dengan kepala membuat wajahku perih
merintih teriris ilalang. Bantu aku… Ummi doakan aku selamat….
Lalu kudapatkan hutan membentang
dihadapanku. Sandal jepitku telah putus, baju yang tadi kukenakan seadanya,
lusuh kusut tak menentu. Aku tak kuat lagi, kaki ini perih menginjak
ranting-ranting dan semak durih. Akhirnya aku berdiam duduk lemas dibawah pohon
besar yang tak kuketahui nama. Kuperhatikan lekat-lekat pekat malam. Aku tak
tau bagaimana bisa kuberlari menebus gelap.
Ummi, di sini aku kini sendiri menggigil
diselimuti malam, ditangisi hujan. Ummi. Anakmu telah diperkosa. Ia telah
ternoda, ia tidak suci lagi, dan ia pun menjadi enggan untuk hidup. Ia tidak
bisa menerima dirinya kini. Diri yang sudah dijamah oleh lelaki iblis. Ummi,
tahukah engkau, bagaimana perasaanku kini?
Ah, aku begitu lelah, mataku begitu berat,
aku inggin tidur, Ummi. Aku tak peduli bagaimana nasibku selanjudnya. Ketika kelopak mata hendak
terpejam, sesosok berjubah putih berdiri mengambang di hadapanku. Seorang perempuan cantik dengan wajahnya
bercaya, dengan berteduh, memandangku iba. Ummi, pengalaman buruk yang baru
kualami, tak lagi membuatku kaget dengan kehadirannya.
“so gata (siapa engkau)? Apakah engkau
iblis berwujud bidadari ?” Tanyaku lirih, acuh tak acuh. “bukan, aku malaikat
maut.” Sejuk suaranya, Ummi.
Ummi, aku
terlalu lelah menjalankan pikiranku. Aku terima kenyataan di hadapanku bahwa
ada malaikat maut berwujud bidadari bersuara indah, setahuku malaikat berwajah
seram dengan suara halilintar.
“ya, aku mengerti, engkau mau mencabut
nyawaku. Cabutlah, aku siap. Bagiku lebih baik mati dari pada menjalani hidup
dengan keadaan diri tak suci begini. Dunia akan mencemohkan aku sebagai
perempuan ternoda karena tak perawan lagi,”
“ Apakah kau lebih peduli pandangan dunia
atau pandangan Allah? Allah tidak melihat kesucian hambanya dari perawan-Nya
dari perawan atau tidak. Allah melihat seorang dari hati nya: iman dan
ketakwaannya kepada Allah.”
Ummi, begitu tenteram hatiku mendengar
nasihat malaikat maut,
“jika demikian, aku ingin menjalani hidup
lagi.”
“Tidak bisa. Ajal kematianmu telah tiba, tak
bisa diundur atau dimajukan.”
“Duhai, kenapa begitu buruk sebab
kematianku? Kenapa Allah menentukan banyak sebab seseorang mati. Tergantung
manusia itu memilih langkah dalam hidupnya,hingga bertemulah sebab
kematiananya.”
“Allah emang
menentukan kapan hamba-Nya mati, tapi Allah menentukan banyak sebab seseorang
mati. Tergantung manusia itu memilih langkah dalam hidupnya. Hingga bertemulah
sebab kematiannya.”
Ummi, aku
menangis. Kuingat laranganmu, tapi tak kugubris sehingga aku menemui ajalku
dengan cara begini. Keinginanku bertemu Syarifah, malah bersua malaikat maut.
“Bolehkah aku meminta satu
permintaan?”
“ Apa?”
“Izinkan aku bertemu Syarifah. Aku inngin menasihatinya tentang kematian dan
minta tolong menyampaikan permintaan
maafku pada Ummi,”
“Mari,” ia raih tanganku. Ia terbangkan aku. Tubuhku
menjadi ringan dan hilang segala kesakitan yang menyiksaku
puisi
LUMPUHKAN CINTA
Tergeletak
di sudut ragamu
Lirih
terucap olehmu;
‘’Cinta
melumpuhkanku’’
Getar
cinta yang kau rasa
bagai gempa sekian richter
hingga merobohkanmu
Mengapa
biarkan dirimu dikuasai cinta
Tidaklah
cinta memberimu kekuatan
Sebab
kau bisa hidup tanpa cinta
Dunia
menghargai cinta
dengan
tumpuk nafsu
dengan segenap emosi
Menelan seluruh logika
Dunia
hanya memberi cinta sementara
Dengan berujung lara
Cinta abadi tiada tempat di dunia.
PUISI
PAGI-PAGI
Teja dan
jerawat telah gemilang
Memuramkan
bintang mulia raya
Menjadi
pudar dalam cahaya
Timbul tenggelam berulang-ulang
Fajar di
timur dating menjelang
Membawa
pertama ke atas dunia
Seri
berseri sepantun mutia
Berbagai
warna bersilang-silang
Lambat laun
serta berdandan
Timbullah
matahari dengan perlahan
Menyinari bumi dengan keindahan
Segala bunga
harumkan pandan
Kembang
terbuka gabus gubahan
Dibasahi embun titik di dahan.
Sudah
Darto temala
Pentas menggambarkan
sebuah kebun, halaman belakang gedung perpustakaan SMA. Di tengah
terdapat bangku panjang, tempat duduk yang terbuat dari semen. Bagian depan sebelah
kanan terdapat bak air kecil yang tak ada airnya dan bisa untuk duduk. Ada
beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di situ. Latar belakangnya gedung
perpustakaan.
Yusrina ; (sedang tekun membaca buku catatan, belaj ar, tas,
buku ada di sisinya, di bangku tersebut. Setelah terdengar bel, beberapa saat
berlalu dalam sepi )
Dafir: (Masuk dari kiri ) Sudah lama?
Yusrina: (
Acuh tak acuh ) Sudah!
Dafir: (
Duduk di sampingnya ) Tentu saja. Tadi kau tidak takut pelajaran yang keenam. (
Membuka buku catatan )
Pak Hadi tadi juga menanyakan kamu. Lalu, teman-teman menjawab sekenanya. Kau pulang
lantaran sakit perut. ( pause ) jam
keenam sudah lewat?
Yusrina: (
sambil membaca ) Sudah!
Dafir: terang
sudah ( pause ) Hmmmm, sekarang jam
pelajaran ketujuh. Jam kedelapan ulangan fisika, jadi masih ada waktu untuk
belajar… (melihat jam tangan ) tiga puluh tujuh menit kau sudah belajar tadi malam?
Yusrina: (
sambil membaca) sudah!
Dafir: Aku
juga tau, tapi Cuma sepintas lalu saja. O, ya, soal-soal minggu kemarin sudah
kau kerjakan?
Yusrina: (
sambil membaca ) sudah!
Dafir:
Semuah? ( Diam Saja ) Biasanya kau hanya mengerjakan empat dari sepuluh soal
itu. Itu pun yang mudah saja. Lya, kan? Aku sendiri paling malas bila
berhadapan dengan soal-soal fisika. (Membuka catatannya) Eh, Yus sudah nonton “mighty
man”?
Yusrina:
(kesal ) Sudah!
Dafir:bagaimana
kesannya? Bagus? Aku juga nonton, juga lihat kamu, kau nonton dengan ….
Yusrina: ( cepat memotong) Sudah!
Dafir: Asyik
ya, nonton duaan!
Yusrina;(Kesal
) suuuudah!
Dafir: (
Menggoda ) kau tidak salah memilih cowok macam Agus?
Yustina: (
Marah) Sudah! Sudah!
Dafir: Dia
itu owok ideal. Gagah lagi. Face-nya lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak
kampungan.
Yustina: (Marah)
Suuuuudah! Sudah!
Dafir:
Sudah, sudah! Sudah Lagi, ah! Dari tadi sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata
lain? Bahasa Indonesia kan banyak perbendaharaan katanya. Sudah, Sudah, Sudah,
dari tadi sudah, Sudah, Sudah melulu. (menggoda) jangan begitu, yus, dia itu bener-bener cakep lho.
Yustina:
(Marah ) Sudah, ah!
Dafir:
Sudah! Baru bertengkar, Apa? Sedang perang sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok
ideal. Sungguh! Cuma sayang. Kau kelihatannya
masih terlalu kecil. Aku kira kau belum pantas pacaran macam malam minggu
kemarin itu. Soalnya….
Yustina: (Membanting
bukunya) Sudah, Sudah, Sudah, Huuuu… Sudah, Sudah, Sudah. Cerewet terus. (
Mengambil bukunya kembali ) Sudah aku mau belajar!
Dafir: (
Menirukan ) Sudah, Sudah, Sudah. Huuuu… Sudah, Sudah, Sudah! Cerewet terus. Aku
mau belajar!
Yustina:
(Mencibir) Huuuuh!
Dafir:(Menirukan)
Huuuuh!
MELISA LOASANA
KLS : X-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar