Minggu, 15 Juni 2014

Membuat cerpen, puisi, dan drama

RANDY SAYANG

            Randy meronta. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tali yang telah menjerat lehernya. Udara pun tersekat masuk ke paru-paru. Suaranya tersangkut di tenggorokan. Hanya terdengar suara cericit seperti tikus terinjak. Sementara Sarah hanya berdiri menatap dingin tanpa menolong. Ia menikmati dengan senyum sinis menanti detik-detik kematian Randy. Hingga kemudian anjing itu diam. Tak lagi meronta. Tak bersuara. Tergantung bisu dengan mata mendelik dan lidah menjulur. Liur berbusa menetes dari sudut mulut Randy.
Telah mati seekor anjing peking manis berwarna cokelatkemerahan di tali gantungan! Di taman, di rumput hijau yang segar, Sarah lalu duduk dengan santai menatap Randy. Pohon mangga rindang, tempat tali digantungkan ikut menatap dalam diam. Tak ada angin mendesir, tak ada suara mengusik. Sore sunyi di taman rumah.
“Aku tak menyesal membunuhmu, Randy,”ungkap Sarah dingin.
Seekor kupu-kupu hitam bertabur bintik-bintik putih hinggap di mawar. Tak jauh dari Sarah duduk. Sarah memandangnya lalu diajak bicara.
“Kupu-kupu, kamu ingin bertanya sesuatu pada Sarah?”
“Kamu anak jahat. Kenapa kamu bunuh anjing manis tak berdosa itu?” kupu-kupu terus mengisap sari mawar. “Randy memang manis dan tak berdosa. Tapi dia pembawa dosa. Makanya Sarah jadi benci. Lalu membunuhnya.”
“Binatang tidak berlaku dosa, bagaimana bisa membawa dosa? Dan kamu juga tak pantas membenci binatang, karena ia tidak mengenal benci.” Seperti jawaban Bu Uud, gurunya di sekolah. Ketika dengan Bu Uud, Sarah tidak lagi menjawab, walaupun ia punya kata-kata untuk menjawab. Takut dibilang anak nakal. Tapi pada kupu-kupu, ia ungkapkan segala keluh, segala benci, segala rasa tak mengenakkan yang selama ini bersemayam di hatinya. Peduli apa pada kupu-kupu. Bukankah kupu-kupu juga tak mengenal nakal?
“Sarah tak perduli Randy punya benci atau tidak. Tapi Sarah benci pada Randy! Randy diperlakukan sangat berlebihan oleh Tante Irena. Makanannya daging, tiga kali sehari. Tidurnya di keranjang beralaskan spon empuk, berseprai kain beludru. Seminggu sekali dimandikan. Bulu-bulunya selalu disemprot dengan obat agar tidak mudah rontok dan bersih mengkilat. Kadang ia tidur di kamar bersama Tante Irena, makan bersama kami, bermain di dalam rumah yang kadang mengacak isi rumah, tapi dibiarkan oleh Tante Irena. Randy telah menjadi seekor anjing yang begitu istimewa dan lebih berharga daripada manusia.”
“Aku mengerti sekarang. Kamu iri pada Randy. Kamu berharap kamulah yang diperlakukan demikian, bukan Randy. Sarah, tak boleh kamu iri. Mengapa kamu tidak bersyukur atas apa yang telah kamu dapatkan sekarang? Bukankah hidupmu sekarang lebih enak daripada tinggal dip anti? Kamu sekarang tidur di spring bed, makanan bergizi, bisa sekolah, dan segala kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi. Jangan serakah, Sarah!”
“Sarah tidak serakah. Sarah bersyukur kok. Sarah hanya iri. Itulah dosa pertama yang dibawa Randy, bikin iri Sarah. Kedua, Randy membawa dosa buat Tante Irena yang mengeluarkan uang berlebihan. Seharusnya biaya untuk anjing itu bisa membiayai seorang anak asuh lagi. Sudah pernah Sarah bilang sama Tante Irena untuk mengasuh Ira, teman baik Sarah dipanti asuhan, sehingga Sarah punya teman di rumah ini. Tapi Tante Irena tidak mau. Katanya mengasuh Sarah mengeluarkan biaya banyak. Tambahnya lagi, Sarah sudah punya teman yakni Randy. Dosa ketiga pun telah dibawa Randy. Karena Radny, harapan Ira jadi pupus. Sungguh, Sarah benci sama Randy, dan ikut sedih melihat kekecewaan Ira. Maka sangat beralasan kalau Sarah membunuh anjing yang sama sekali tak berguna itu.”
“Sarah, Randy hanya seekor anjing yang tak tahu-menahu tentang dosa. Yang dia tahu Tante Irena, kamu menerimanyadan merawatnya dengan baiksehingga ia senang dan jinak pada kalian. Ia tak pernah berharap hidup bersama Tante Irena, tapi Tante Irena sendiri yang mengambil kehidupannya demi hobi dan kesenangan. Nah, Randy ada untuk membuat Tante Irena senang.kamu tidak boleh mengatakan Randy tidak berguna. Ia telah membuat majikannya bahagia.”
“Sarah jadi ingin tertawa ketika dibilang manusia bahagia dengan anjing. Mengapa manusia lebih berbahagia melihat tingkah laku anjing daripada bahagia melihat kebahagian seorang anak manusia? Sarah pernah dengar, kebahagiaan itu diperoleh ketika engkau bisa membahagiakan orang lain. Tapi sekarang Sarah lihat sendiri, Tante Irena memperoleh kebahagiaan dengan membahagiakan anjing!”
Kupu-kupu terdiam, Sarah pun diam. Sunyi kembali menggayut. Teringat kata Bu Uud, Sarah anak pintar, tapi juga nakal. Sering bertanya aneh dan membantah. Padahal usia baru 11 tahun.”Tapi kehadiranmu sekarang telah membunuh kebahagiaan Tante Irena yang selama ini begitu baik padamu, yang tidak pernah memarahimu. Kamu pasti mendapatkan balasannya.”
Angin berdatangan ke taman. Menerpa ajah Sarah, meluruhkan dedaunan tua, dan menggoyangkan mawar tempat kupu-kupu hinggap. Sesaat kemudian kupu- kupu pun terbang bersama angin. Buru-buru Sarah berkata,”Memang Tante Irena baik pada Sarah dan pada anjingnya. Tidak pernah dimarahi, dan selalu disayangi. Tapi ia tidak sayang pada Ira. Ia pun tidak patuh pada agamanya, Islam. Sarah sudah pernah bilang anjing itu bukan binatang peliharaan, tapi binatang penjaga atau pemburu. Sebab jika anjing berada di dalam rumah, maka malaikat pembawa rezeki tidak menaburkan rezekinya. Dan anjing juga binatang yang lidahnya penuh dengan kuman-kuman yang bernajis. Tapi Tante Irena tak percaya dan membantah. Katanya, rezekinya tetap mengalir terus, bahkan ia bisa dapat rumah besar ini sekarang. Ia juga tak percaya dengan kuman-kuman di lidah anjing, sebab ia merasa tidak ada masalah apa-apa ketika dijilati anjing. Orang Barat saja bahkan mencium anjing, dikencingin anjing aja mau!”
Taman senyap. Kupu-kupu telah pergi membawa angin dan kata-kata Sarah. Lalu di gerbang taman, sebuah sedan hitam yang melaju pelan memasuki jalan beraspal di tengah taman dan berhenti tepat di depan rumah. Tante Irena keluar dari mobil dan juga Om Raby, bosnya Tante Irena. Saat pertama kali bertemu, sangka Sarah, Om Raby adalah suami Tante Irena. Di kemudian hari, Sarah heran melihat Om Raby sering pergi bersama Tante Irena dan menginap di rumah. Tapi lama-kelamaan Sarah tak peduli, malah senang. Sebab kalau Om Raby mau menginap, Bi Isah pasti masak enak.
Sarah berlari menghampiri Tante Irena.
“Tante, Randy mati!”
“Apa?” Tante Irena terperanjat. “Kenapa bisa mati?”
“Tali telah menjerat lehernya, Tante. Ia tergantung di bawah pohon mangga sekarang,” sahut Sarah sambil menunjuk pohon mangga. “Kok bisa tergantung?”
Sesaat  Tante Irena menatap cemas Om Raby, lalu berlari kea rah pohon mangga. Sarah dan Om Raby mengikuti. Di pohon mangga, Tante Irena menjerit.
“Randyyyyyyy…!” segera dilepaskan gantungan tali yang melilit leher Randy. “Kenapa bisa begini? Oh Randy…” lalu ia menangis. “Kenapa ia bisa tergantung, Sarah?” Om Raby bertanya sambil menenangkan Tante Irena.
“Tadi saat kami sedang bermain, Randy, Sarah suruh untuk melompati tali melingkar yang Sarah buat. Sarah sebenarnya ingin melihat Randy bisa melewati lingkaran api. Tapi…”
“Cukup!” Tante Irena berteriak tiba-tiba memotong kata-kata Sarah. “Dasar anak brengsek, pembohong! Kamu yang telah membunuh, Randy. Kamu sengaja menggantungnya, kamu sengaja membiarkan ia mati tergantung!”
“Irena, tenang…”
“Kau diam saja! Sarah, kamu benar-benar tak tahu berterima kasih, padahal Tante telah berbaik hati mengangkatmu jadi adik Tante. Besok kamu akan Tante kembalikan ke panti. Tante tak mau lagi menampung kamu!”
“Tapi Tante…”
“Cukup! Tante tak mau lagi mendengar alas anmu. Malam ini siapkan segera barang-barangmu. Besok pagi Tante kembalikan kamu ke panti.”
“Irena…”
“Sudah ku bilang diam! Jangan ikut campur!”
Semua diam sambil dengar Tante Irena menangisi Randy. Tak ada seorang pun bisa menenangkannya. Sekalipun dari bosnya yang seharusnya disegani malah berani dibentak. Lalu ke esokan harinya Tante Irena mengantarkan Sarah ke panti asuhannya


PERAWAN DIRENGGUT MALAM

 

UMMI, di sini aku, sendiri dalam hutan diselimuti malam hutan Diselimuti malam, ditangisi hujan. Tidak sedikit pun Kutakut pada ular,  babi hutan, atau binatang malam Lain yang akan membinasakanku. Aku hanya takutPada pemerkosa itu yang masih mencariku . UMMI,Tolong bantu aku mengenyahkan  mereka.
 UMMI, aku mengaku salah padamu. Engkau melarang aku keluar malam, karena tentara-tentara  penjaga malam  akan mengangguku. Akutidak mendengar , sebab aku yakin mereka tidak mengangguku. Aku telah berkerudung rapat, danAllah telah menjanjikan perlindungan bagi wanita Yang  tertutup. Aku juga punya pendapat  yang kuyakini benar. Memang para tentara mudah menganiaya laki-laki hingga membunuh seenak perutnya. Tapi mereka tidak terlalu pada perempuan. Tuduhan apa yang bisa dilontarkan buat perempuan yang berkerudung  yang keluar malam-malam, Apakah dikira pemberontak GAM? Tidak,  mereka tidak mungkin berpikir begitu. Meraka hanya berpikir berani pula perempuan keluar malam-malam sendiri. UMMI, mereka tidak menganiaya perempuan, mereka tidak menangkap perempaun, mereka tidak  membawa pergi perempuan bagaimana mereka sering membawa lelaki kampung ini entah kemana dan kembali dengan  tubuh tak bernyawa.
     UUMI, aku hanya keluar malam untuk menemui temanku yang berduka. Seperti bang Ali bilang, setelah shalat magrib di meunasah, ia kerumah syarifa untuk tahlilan sebagaimana penduduk ketika ada orang meninggal. Akan tetapi, tak ada seorang penduduk pun yang dating kerumah duka itu. Makanan berupa kue-kue dan kopi  Aceh telah disediakan diserambi rumah tersia-sia tak ada yang minum . bang Ali dan beberapa temannya hanya memberi sedekah uang seadanya dan kemudian pulang. UMMI pasti tau bila pulang terlalu malam, ia bisa bertemu tentara penjaga malam dan bisa diinterogasi dengan kata-kata kasar, hantaman popor senjanta, atau tendangan dan pukulan. Seperti  yang sering pulang malam.
    UUMI, sebagai perempuan, sebagai anak yang sama-sama sudah kehilangan ayah karena dianiaya oleh para tentara itu, bisa kurasa kesedihannya. Sudah mati dengan tragis, tak ada pula yang bertahlil ker umahnya. Keramaian orang berdua tentu membuat hatinya tenteram, membantunya melambangkan dada menerima musibah itu, bahwa kematian seorang manusia adalah takdir Allah. Kematian adalah wajar meskipun caranya kurang ajar. UMMI, aku kesana untuk menghiburnya dari duka. Aku tidak kuasa merasakan luka batin syarifah. Aku sudah pernah merasakan kehilangan Abi yang dibunuh mereka, dan malamnya tidak ada yang melakukan tahlilan buat arwah Abi. Aku merasakan betapa sunyi dan hampa hati ini. Duka semakin subur dalam kesepian rumah yang tidak di ramaikan oleh tahlilan. Aku butuh mendengar doa-doa peneteram hati, agar duka tidak menyepi di hati. Tidakkah Uumi merasakan suasana duka itu? Kita berdua melewati malam-malam setelah Abi meninggal. Sedang bang Ali masih di batam. Pulang dua bulan kemudian setelah Uumi menyuruh pulangak. Sebab tak ada lelaki di rumah. Tinggal kita perempuan-perempuan lemah.
  Ummi, tidak apa-apa aku keluar malam, aku akan mengambil jalan pintas tidak melewati posko penjaga. Aku akan berhati-hati, Ummi. Tapi engkau tetap melarang dan marah. Bang Ali pun marah. Aku tidak mendengr katamu. Maaf, Ummi, aku beranggapan perasaan kalian hanya sementara, perasaan duka syarifah yang hanya berdua dengan emaknya.
   Aku pun pergi. Aku tidak merasa bersalah, dan jika salah aku masih sempat meminta maaf padamu,Ummi. Mungkin begitu watak perempuan Aceh, keras untuk mewujudkan suatu keinginan yang dianggap benar meski nyawa taruhan. Seperti cut Nyak Dien, yang begitu keras memimpin melawan perang Belanda meski mulanya ditentang para lelaki dalam kerajaan karena cut Nyak seorang perempuan. Serahkan urusan perang pada laki-laki saja. Akan tetapi cut Nyak punya sikap, ia tidak bisa diam dengan membiarkan bumi Aceh diinjak-injak kafee Belanda, yang juga telah menewaskan suaminya, Teuku Umar.
  Ummi,dengan langka kecilku, malam pun kubelah dengan penerang bulan seperti mata yang terpejam. Zikir tiada putus dihati terucap seiring denyut nadiku. Ummi, malam begitu sepih, senyap, lengang.penduduk benar-benar takut pada malam. Tak ada yang keluar malam, bahkan tak terliht cahaya panyot dari dalam rumah sebagai petanda mereka masih terjaga, padahal malam baru menjelang isya. Ummi, malam bisu tanpa suara. Bukan penduduk kampung saja yang tidak menyukai malam, jangkrik, kodok, dan binatang malam lain yang sering bernyanyi juga  membisu. Ummi, aku hanya melihat pohon-pohon dan ilalang yang meninggi memetung bagai dalam potret suram. Tak terusik sedikit pun oleh angin. Sabit pun telah terpejam total. Mendung menelannya. Membuatku kehilangan arah, sehingga aku tersunggkur di parit kecil di pinggir jalan setapak. Aku mengaduh lirih. Tapi aduhanku tak kusangka mampu membangunkan tentara-tentara itu,
   Ummi,mendadak entah dari mana tembakan mengarah padaku. Tret…, Tret…dor…dor…dor!!! Walaupun peluruh itu kurasa melesat menembus malam sangat dekat di atas dan disamping diriku, tiada membuatku gentar. Aku tidak takut mati, Ummi. Hanya aku merasa gendang telinga serasa mau pecah, sebab muntahan peluru membahana di kegelapan malam. Ummi, aku beristigfar dalam diam hingga suara garang senjata itu diam.
  Lalu, Ummi, laksana pedang-pedang cahaya tanpa ujung, sorot-sorot senter milik para tentara menusuk kelam malam. Aku tidak menyangka posko militer itu dekat sekali dari berada, tentu mereka bisa mudah mendengar rintihanku tadi. Setahuku posko mereka di rumah cek ramlah, janda yang di tinggal mati suaminya dan anak-anaknya. Mereka ternyata kini berposko di rumah kosong milik Bang Leman yang telah pergi melarikan diri dari kejaran militer, sebab ia anggota GAM.
“Mohon jangan tembak, aku perempuan!” teriakku. Ummi, aku tidak sedikit pun merasa takut sorot-sorot senter menelanjangi tubuh dan wajahku hingga menyilaukan mataku. Serta kulihat dari lima senter itu tergantung senjata laras panjang di tangan kanan mereka, yang pernah kudengar disebut AK-47. Aku tidak begitu tau soal senjata. Anak lelaki lebih tahu tentang senjata. Mereke ada rasa tertarik. Aku sendiri merasa heran, bagaimana benda pembawa maut itu bisa menarik hati para lelaki.
 “Berdiri, dan angkat tangan!” bentak salah seorang dari mereka sambil mendekat padaku. Aku merasa nyeri dan perih dimulut. Pergelangan kaki kiriku tergilir, sehingga aku ngak sulit berdiri.
   “Dengan siapa kau?” kembali mereka membentak sambil moncong senjata menuding kearahku.
  “sya sendiri. Tidak dengan siapa-siapa,” sahutku lirih.
       “siapa kau? Ngapain keluar malam-malam  sendirian?”
           “saya Aini, anak salamah, istri almarhum Pak Ibrahim. Saya mau kerumah syarifah, anak almarhum Pak Nurdin yang meninggal tadi pagi.”
Maka Ummi, dengan alas an pemeriksaan aku dibawah kerumah papan Bang Leman melalui jalan setapak. Kiri kanan ilalang tumbuh panjang tak ditebas. Di halaman rumah, dengan sorot cahaya senter, rumput tekir terbaur dengan bunga putri malu tumbuh subur tak terawat. Begitu pun rumah Bang Leman, di mana papan rumahnya sudah lapuk dimakan waktu dan rayap. Atap rumbia ada yang hendak jatuh ketanah.
  Ummi, aku tak berprasangka apa-apa ketika bisik-bisik mereka dalam bahasa daerahnya yang tak kumengerti dan cekikikan tawa ketika mereka sedang merencanakan sesuatu. Aku tak tahu hingga pemimpin mereka berkata akan memeriksaku terlebih dahulu di kamar. Aku merasa tak baik. Aku menolak, diperiksa diruang itu saja.
     “kau mau tubuhmu dilihat mereka saat kupriksa di balik baju karungmu itu?”
Dia menghina pakaian muslimahku, Ummi. Tapi tidak kupersoalkan, benar katanya. Hanya kejadian selanjutnya kutakutkan. Meski demikian, aku mencoba berpikir positif. Tentara itu mungkin maksud baik. Bagaimana tentara lain juga banyak yang baik, meski sebagian penduduk tidak bisa mengenyahkan cerita buruk pada mereka.
    Sayang Ummi, tidak seperti kubayangkan. Kejadian begitu cepat dan sangat menyakitkan untuk kuulangkan kembali padamu, Ummu, aku begitu takut Ummi, tak pernah kutakut sedemikian hebat selama hidup. Lebih menakutkan dari pada kematian seperti kebanyakan manusia takutkan. Aku menolak membuka baju. Tapi ia memaksa, menamparku. Dientakan jilbabku hingga lepas. Aku berteriak, dibalas dengan tamparan dan makian untuk diam. Aku tak kuasa melawan, Ummi. Ia cengkeram diriku yang lemah dengan kekuatan nafsunya. Selanjutnya, sangat sakit Ummi. Rumah kumuh itu menjadi saksi bagaimana kepayahanku. Malam merekam tangis dan teriakanku, aku memanggil Allah untuk membantuku, aku memanggil Ummi untuk mengusir mereka. Namun tak ada yang membantuku hingga terjadilah mimpi buruk itu.
     Lalu ia keluar dengan lenguhan kepuasan seorang iblis. Kudengar diruang depan ia ijinkan temannya untuk memeriksaku. Ketakutanku memuncak, Ummi. Kukumpulkan dengan segenap kekuatan yang tersisa, dengan tertatih perih, sunggu kepayahan yang sangat memeriksa, aku keluar dari kamar sebelum temannya mendahului. Sebab kamar dibelakang, membuat mereka tak tahu aku keluar kamar. Begitu dasyat tubuhku gemetar Ummi, hingga palang melintang pintu yang sedang kuturunkan jatuh berdetum ke lantai papan. Aku tak mengerti, ketakutan seperti menyumbang energi hingga aku kuat berlari. Membelah semak, membeleh ilalang yang membenamkan tubuhku. Angin malam mendadak rebut, meriuhkan kedaunan, menggelombangkan ilalang.
     Masih sempat kudengar makian tentara dari dalam rumah. “Busyet, gadis itu ngak ada. Pada hal aku belum periksa dia. Bangsat! Ia lari kebelakang!”selanjudnya, peluru memekik meneros malam, dan salah satu menyusup kebahu kananku. Ummi, aku kena! Aku terjerembab. Ilalang seolah-olah menjadi barisan makhluk gaib bersorak menyemangatikan untuk segera bangkit dan lari.
      Aku bangkit , meski sakit menyakit. Lelah bercampur perih  bendera seluruh tubuh: diiris elalang dihujam peluruh, darah yang terus keluar meski udah kucoba kutahan dengan telapak kiriku, dan tangan kanan tak bisa lagi kugerakkan untuk menyimak ilalang. Maka kubelah ilalang dengan kepala membuat wajahku perih merintih teriris ilalang. Bantu aku… Ummi doakan aku selamat….
     Lalu kudapatkan hutan membentang dihadapanku. Sandal jepitku telah putus, baju yang tadi kukenakan seadanya, lusuh kusut tak menentu. Aku tak kuat lagi, kaki ini perih menginjak ranting-ranting dan semak durih. Akhirnya aku berdiam duduk lemas dibawah pohon besar yang tak kuketahui nama. Kuperhatikan lekat-lekat pekat malam. Aku tak tau bagaimana bisa kuberlari menebus gelap.
    Ummi, di sini aku kini sendiri menggigil diselimuti malam, ditangisi hujan. Ummi. Anakmu telah diperkosa. Ia telah ternoda, ia tidak suci lagi, dan ia pun menjadi enggan untuk hidup. Ia tidak bisa menerima dirinya kini. Diri yang sudah dijamah oleh lelaki iblis. Ummi, tahukah engkau, bagaimana perasaanku kini?
   Ah, aku begitu lelah, mataku begitu berat, aku inggin tidur, Ummi. Aku tak peduli bagaimana nasibku  selanjudnya. Ketika kelopak mata hendak terpejam, sesosok berjubah putih berdiri mengambang di hadapanku.  Seorang perempuan cantik dengan wajahnya bercaya, dengan berteduh, memandangku iba. Ummi, pengalaman buruk yang baru kualami, tak lagi membuatku kaget dengan kehadirannya.
     “so gata (siapa engkau)? Apakah engkau iblis berwujud bidadari ?” Tanyaku lirih, acuh tak acuh. “bukan, aku malaikat maut.” Sejuk suaranya, Ummi.
Ummi, aku terlalu lelah menjalankan pikiranku. Aku terima kenyataan di hadapanku bahwa ada malaikat maut berwujud bidadari bersuara indah, setahuku malaikat berwajah seram dengan suara halilintar.
 “ya, aku mengerti, engkau mau mencabut nyawaku. Cabutlah, aku siap. Bagiku lebih baik mati dari pada menjalani hidup dengan keadaan diri tak suci begini. Dunia akan mencemohkan aku sebagai perempuan ternoda karena tak perawan lagi,”
  “ Apakah kau lebih peduli pandangan dunia atau pandangan Allah? Allah tidak melihat kesucian hambanya dari perawan-Nya dari perawan atau tidak. Allah melihat seorang dari hati nya: iman dan ketakwaannya kepada Allah.”
   Ummi, begitu tenteram hatiku mendengar nasihat malaikat maut,
  “jika demikian, aku ingin menjalani hidup lagi.”
 “Tidak bisa. Ajal kematianmu telah tiba, tak bisa diundur atau dimajukan.”
    “Duhai, kenapa begitu buruk sebab kematianku? Kenapa Allah menentukan banyak sebab seseorang mati. Tergantung manusia itu memilih langkah dalam hidupnya,hingga bertemulah sebab kematiananya.”
“Allah emang menentukan kapan hamba-Nya mati, tapi Allah menentukan banyak sebab seseorang mati. Tergantung manusia itu memilih langkah dalam hidupnya. Hingga bertemulah sebab kematiannya.”
Ummi, aku menangis. Kuingat laranganmu, tapi tak kugubris sehingga aku menemui ajalku dengan cara begini. Keinginanku bertemu Syarifah, malah bersua malaikat maut.
            “Bolehkah aku meminta satu permintaan?”
            “ Apa?”   
            “Izinkan aku bertemu Syarifah.  Aku inngin menasihatinya tentang kematian dan minta tolong  menyampaikan permintaan maafku  pada Ummi,”
  “Mari,” ia raih tanganku. Ia terbangkan aku. Tubuhku menjadi ringan dan hilang segala kesakitan yang menyiksaku
   





            puisi

LUMPUHKAN CINTA 
Tergeletak di sudut ragamu
Lirih terucap olehmu;
‘’Cinta melumpuhkanku’’

Getar cinta yang kau rasa
 bagai gempa sekian richter
 hingga merobohkanmu

Mengapa biarkan dirimu dikuasai cinta
Tidaklah cinta memberimu kekuatan
Sebab kau bisa hidup tanpa cinta

Dunia menghargai cinta
  dengan tumpuk nafsu
 dengan segenap emosi
 Menelan seluruh logika

Dunia hanya memberi cinta sementara
 Dengan berujung lara
 Cinta abadi tiada tempat di dunia.

PUISI
PAGI-PAGI
Teja dan jerawat telah gemilang
Memuramkan bintang mulia raya
Menjadi pudar dalam cahaya
Timbul  tenggelam berulang-ulang

Fajar di timur dating menjelang
Membawa pertama ke atas dunia
Seri berseri  sepantun mutia
Berbagai warna bersilang-silang

Lambat laun serta berdandan
Timbullah matahari dengan perlahan
Menyinari  bumi dengan keindahan

Segala bunga harumkan pandan
Kembang terbuka gabus gubahan
Dibasahi embun titik di dahan.

 




Sudah

Darto  temala


Pentas menggambarkan  sebuah kebun, halaman belakang gedung perpustakaan SMA. Di tengah terdapat bangku panjang, tempat duduk yang terbuat dari semen. Bagian depan sebelah kanan terdapat bak air kecil yang tak ada airnya dan bisa untuk duduk. Ada beberapa tanaman bunga dan pot bunga ada di situ. Latar belakangnya gedung perpustakaan.
Yusrina ; (sedang tekun membaca buku catatan, belaj ar, tas, buku ada di sisinya, di bangku tersebut. Setelah terdengar bel, beberapa saat berlalu dalam sepi )
Dafir: (Masuk dari kiri ) Sudah lama?
Yusrina: ( Acuh tak acuh ) Sudah!
Dafir: ( Duduk di sampingnya ) Tentu saja. Tadi kau tidak takut pelajaran yang keenam. (                    Membuka buku catatan ) Pak Hadi tadi juga menanyakan kamu. Lalu, teman-teman menjawab sekenanya. Kau pulang lantaran  sakit perut. ( pause ) jam keenam sudah lewat?
Yusrina: ( sambil membaca ) Sudah!
Dafir: terang sudah ( pause ) Hmmmm,  sekarang jam pelajaran ketujuh. Jam kedelapan ulangan fisika, jadi masih ada waktu untuk belajar… (melihat jam tangan ) tiga puluh tujuh menit  kau sudah belajar tadi malam?
Yusrina: ( sambil membaca) sudah!
Dafir: Aku juga tau, tapi Cuma sepintas lalu saja. O, ya, soal-soal minggu kemarin sudah kau kerjakan?
Yusrina: ( sambil membaca ) sudah!
Dafir: Semuah? ( Diam Saja ) Biasanya kau hanya mengerjakan empat dari sepuluh soal itu. Itu pun yang mudah saja. Lya, kan? Aku sendiri paling malas bila berhadapan dengan soal-soal fisika. (Membuka catatannya) Eh, Yus sudah nonton “mighty man”?
Yusrina: (kesal ) Sudah!
Dafir:bagaimana kesannya? Bagus? Aku juga nonton, juga lihat kamu, kau nonton dengan ….
Yusrina: ( cepat memotong) Sudah!
Dafir: Asyik ya, nonton duaan!
Yusrina;(Kesal ) suuuudah!
Dafir: ( Menggoda ) kau tidak salah memilih cowok macam Agus?
Yustina: ( Marah) Sudah! Sudah!
Dafir: Dia itu owok ideal. Gagah lagi. Face-nya lumayan, tidak terlalu ngepop, juga tidak kampungan.
Yustina: (Marah) Suuuuudah! Sudah!
Dafir: Sudah, sudah! Sudah Lagi, ah! Dari tadi sudah melulu. Apa tidak ada kata-kata lain? Bahasa Indonesia kan banyak perbendaharaan katanya. Sudah, Sudah, Sudah, dari tadi sudah, Sudah, Sudah melulu. (menggoda) jangan begitu,  yus, dia itu bener-bener cakep lho.
Yustina: (Marah ) Sudah, ah!
Dafir: Sudah! Baru bertengkar, Apa? Sedang perang sabil, ya? Jangan, ah! Dia itu cowok ideal. Sungguh!  Cuma sayang. Kau kelihatannya masih terlalu kecil. Aku kira kau belum pantas pacaran macam malam minggu kemarin itu. Soalnya….
Yustina: (Membanting bukunya) Sudah, Sudah, Sudah, Huuuu… Sudah, Sudah, Sudah. Cerewet terus. ( Mengambil bukunya kembali ) Sudah aku mau belajar!
Dafir: ( Menirukan ) Sudah, Sudah, Sudah. Huuuu… Sudah, Sudah, Sudah! Cerewet terus. Aku mau belajar!
Yustina: (Mencibir) Huuuuh!
Dafir:(Menirukan) Huuuuh!

MELISA LOASANA

KLS : X-3









 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar